Rabu, 02 April 2008

KojA itu Sufi???

Abu Nawas, Koja Nasruddin, Si Kabayan
Ditulis pada 9 Maret 2008 oleh Ki Santri

SI Kabayan ternyata punya saudara-saudara tua di dunia Arab, yaitu tokoh sufi Abu Nawas, Koja Nasruddin, dan Junayd. Ketiga tokoh “Arab” ini menampilkan diri sebagai sosok yang cerdas dan bodoh yang menimbulkan efek humor. Begitu pula Si Kabayan yang dilahirkan di daerah Banten. Tokoh kesayangan masyarakat Sunda ini ternyata berstatus sufi juga, atau setidaknya dipakai untuk mengungkapkan pikiran sufistik.

Dalam khazanah sufi dunia, Abu Nawas lebih menonjol sebagai tokoh cerdas, sedangkan Koja Nasruddin sebagai tokoh bodoh. Dan Si Kabayan berkarakter dua-duanya. Jadi, Si Kabayan itu gabungan dari Abu Nawas dan Koja Nasruddin…

Seorang sufi itu memilih hidup miskin daripada kaya, hina daripada mulia (penganggur dan penidur), menjauhi pergaulan, lapar daripada kenyang (Kabayan suka makan enak), “mati” daripada hidup (kudu bisa paéh saméméh paéh), “bodoh” daripada pintar.

Seorang sufi di Timur Tengah abad 9 menyatakan bahwa “kalau kamu mengetahui apa yang saya ketahui, engkau akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis”.

Dunia ini fana, dan carilah yang baka. Jadi, Kabayan dan cerita-ceritanya paradoks, seperti sufisme itu sendiri, penuh pikiran dan peristiwa paradoks.

Cerita-cerita “dongeng” itu sufistik dan pantas disejajarkan dengan cerita para pendahulunya, Abu Nawas dan Koja Nasruddin.


Sebuah cerita Abu Nawas masuk dalam cerita Si Kabayan. Inilah ceritanya, Abu Nawas diuji oleh raja karena terkenal kepintarannya. Abu Nawas disuruh menghitung bintang di langit. Jawaban Abu Nawas adalah membawa seember pasir di hadapan raja dan diminta untuk menghitungnya. Tentu saja raja tak mampu. Moral cerita ini adalah bahwa ada hal-hal yang tak mungkin diketahui oleh manusia, dan kita tak usah mencoba memasukinya.

Koja Nasruddin pernah mimpi. Koja mimpi sedang negosiasi sebuah kontrak ratusan juta, dibangunkan oleh istrinya yang menyediakan sarapan pagi. Koja marah-marah karena kontrak belum dia tanda tangani dalam mimpi. Sarapan sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan mimpi kontrak ratusan juta itu. Moral cerita ini, mana lebih penting bagi manusia, mimpi jadi saudagar kaya atau sarapan pagi yang realitas? Bisakah orang mimpi tanpa makan?
Cerita-cerita mistisisme semacam itu ada di banyak sistem kepercayaan. Dan karakternya sama, menertawakan kebodohan manusia!***

Sumber: Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar: